Oleh : K.H. Abdullah Gymnastiar
Salah satu
yang berbahaya diantara penyakit hati yang kita miliki adalah sifat egois,
sifat tidak mau kalah, sifat ingin menang sendiri, sifat ingin selalu merasa
benar, atau sifat ingin selalu merasa bahwa memang dirinya tidak berpeluang
untuk berbuat salah. Sifat seperti ini biasanya banyak menghinggapi orang-orang
yang diamanahi kedudukan—seperti para pimpinan dalam skala apapun.
Sifat-sifat
tadi ujung-ujungnya akan bermuara pada sikap otoriter, bahkan lebih jauh lagi
menjadi seorang diktator (suatu sebutan yang diantaranya dinisbahkan pada
pemimpin pemerintahan NAZI Jerman, Adolf Hitler atau pada pemerintahan fasis
Italia zaman Benito Musolini, dan juga para pemimpin diktator dunia lainnya).
Pastilah
pula kita tidak akan pernah nyaman mendengar kata-kata seperti itu dan kita
juga tidak akan pernah suka melihat orang yang otoriter, yang segalanya
sepertinya harus dalam genggamannya. Dan hasilnya kita tahu sendiri bahwa
orang-orang yang memiliki cap otoriter, orang yang selalu ingin segalanya dalam
kekuasaannya, semuanya tunduk dan patuh kepadanya, ujungnya adalah kejatuhan
dan kehinaan.
Dari segi
namanya saja sudah menimbulkan kesan tidak enak untuk didengar kuping. Simaklah
kata, "otoriter", "egois", atau "menang sendiri"
sepertinya kita menangkap kesan yang kurang sreg dengan kata-kata ini.
Apalagi jika melihat langsung orang yang memiliki sifat seperti itu, akan lebih
tidak suka lagi. Tapi sayang, sepertinya kita jarang menyisihkan waktu untuk
bertanya secara jujur pada diri sendiri, apakah sifat-sifat itu ada pada diri
kita atau tidak? Apakah kita ini orang otoriter atau bukan? Maaf-maaf saja
kepada para orang tua, guru, manager, pimpinan, direktur, komandan, bos,
pokoknya orang-orang yang diamanahi kekuasaan oleh ALLOH, biasanya memiliki
kecenderungan sifat seperti ini.
Orang-orang
yang otoriter biasanya memiliki versi tersendiri dalam menilai suatu kejadian,
versi yang sesuka dia tentunya. Hal ini karena dia selalu memandang lebih
dirinya sehingga selalu melihat sesuatu itu kurangnya dan jeleknya saja.
Akibatnya sebaik apapun yang dilakukan orang lain selalu saja dari mulutnya
meluncur omelan, gerutuan, dan koreksian. Tepatlah baginya pepatah, ‘nila
setitik rusak susu sebelanga’. Artinya, karena kesalahan sedikit, jeleklah
seluruh kelakuannya. Bagi orang otoriter, biasanya tidak ada pilihan lain
selain 100% harus sesuai keinginannya.
Hasil
kajian sebuah penelitian menyebutkan bahwa para korban NAPZA (Narkotika,
Pshikotropika, dan Zat Aditif lainya) diantaranya adalah mereka yang tumbuh
besar dari kalangan orang tua otoriter, keras, mau menang sendiri, tidak mau
berkomunikasi, dan tidak ada dialog antar anggota keluarga sehingga si anak
menjadi seorang yang bersikap apatis, acuh, bahkan akhirnya si anak melarikan
rasa ketertekanannya ini ke NAPZA, naudzhubillah.
Ada pula
anak yang selalu bentrok dengan ibunya, karena si ibu begitu menuntut agar dia
nurut 100% tanpa reserve. Kondisi ini dibarengi pula dengan penilaian kepada
anak yang selalu negatif, akibat yang diungkapkan si ibu selalu sisi-sisi yang
salah dari diri si anak. Munculah ungkapan, "Sedikit-sedikit
salah-sedikit-sedikit salah!", bahkan saking kesalnya si anak ini berkata,
"Kalau saya ini salah terus, lalu kapan benarnya saya sebagai manusia ini?
Kenapa semua yang saya lakukan selalu disalahkan?!". Padahal kalau si anak
belum mengerti seharusnya orang tua yang lebih dulu mengerti, kalau si anak
belum bisa paham seharusnya orang tua yang duluan paham. Tapi karena orang
tuanya tidak mengerti dan kurang ilmu, akhirnya tanpa disadari si ibu telah
menggiring dan menjerumuskan anaknya ke dunia NAPZA.
Ternyata
beginilah, gaya mendidik yang otoriter, yang kaku, dan kurang komunikatif akan
menghasilkan anak-anak dalam kondisi tertekan, tidak aman, hingga ujungnya ia
lari dari kenyataan yang dihadapinya. Begitupun di kantor-kantor atau perusahaan-perusahaan
yang memiliki pimpinan bertife otoriter, pastilah dia akan membuat karyawannya
tertekan. Hal ini dapat diamati saat pimpinannya datang ke ruang kerja
karyawannya, semua karyawan menjadi tegang, gugup, dan panik. Ini terjadi
karena kalau pimpinan datang, maka yang dilihat hanya kesalahan-kesalahan
karyawannya saja. Mengapa begini? Mengapa begitu? Ini salah! Itu Salah! Jarang
memuji, jarang menghargai, jarang menyapa dengan baik, bahkan wajahnya
menyeramkan dan angker karena sangat jarang senyum. Pada akhirnya karyawan
disiplinnya menjadi disiplin takut atau disiplin semu, padahal sebenarnya
karyawan merasa tertekan, sakit hati, dan bahkan benci ke si pimpinan yang
otoriter ini.
Diantara
ciri perusahaan dengan kondisi seperti ini adalah ditandai dengan perputaran
keluar-masuk karyawan yang sangat tinggi. Semua karyawan dari yang level
tertinggi sampai yang level terendah maunya keluar saja. Kalaupun ada yang
bertahan, bukan karena senang bekerja di sana, kebanyakan yang bertahan memang
karena butuh saja. Butuh uangnya, bukan butuh suasananya.
Oleh sebab
itu, hati-hatilah bagi para pemimpin yang otoriter, dan bersiap-siaplah menjadi
orang yang tidak disukai karena saking banyaknya orang yang merasa teraniaya.
Orang otoriter itu marahnya saja biasanya dilakukan di sembarang tempat, asal
dia ketemu dengan yang dimarahinya, marahnya akan meledak-ledak. Padahal
kemarahan seperti itu justru akan mempermalukan si pemarah itu sendiri karena
orang yang melihatnya akan mengeluarkan penilaian yang negatif kepada dia.
Misal, "Kok marahnya gitu-gitu amat, padahal dia haji, padahal dia
pejabat". Orang-orang yang marah biasanya omongannya juga jelek sekali,
kata-katanya kasar dan menyeramkan. Jadi ketika si pemarah itu marah, yang
dimarahi bukannya malah nurut atau bukannya malah simpati, yang terjadi justru
orang itu akan mengeluarkan penilaiannya sendiri. Walaupun nampak seperti
nunduk atau manggut-manggut, tapi hati tidak pernah bisa dibohongi, tidak
pernah bisa dibeli dengan kemarahan. Yang ada justru orang itu akan menjadi
sakit hati, dongkol dan merendahkan orang yang marah walaupun mungkin pada saat
itu ia tidak berani mengekspresikannya.
Hati-hati nih
bagi para pimpinan yang suka marah-marah, terutama orang-orang yang tidak biasa
jadi bawahan, kadang-kadang ia agak otoriter. Dalam keluarga militer memang
kecenderungan sifat otoriter muncul di keluarga itu akan jauh lebih kuat,
karena memang jalur komando ala militer kadangkala diberlakukan oleh pimpinan
di keluarga itu dengan konsep militer. Celakanya di kantor dididik dalam gaya
hidup ala militer, sayangnya di rumah mendidik dengan gaya yang sama, mendidik
dengan gaya ala militer, padahal kondisi kantor dan kondisi rumah berbeda.
Pernah ada
sebuah keluarga dengan empat anak, ternyata tiga diantaranya mengalami depresi
berat karena sang ayah terlalu kaku dalam memimpin rumah tangga yang
pengelolaannya disamakan seperti di kantornya. Jangan heran bila ada orang yang
sukses di kantor belum tentu sukses di rumah tangga. Ada yang
"sukses" di kantor itu karena ia begitu tegasnya sebagai seorang
komandan, tapi di rumahnya anak-anak itu beda, karena memang mereka bukanlah
militer, mereka tidak dilatih kemiliteran dan terlebih lagi mereka tidak
dikasih pangkat.
Perlu
diwaspadai pula bahwa biasanya pemimpin yang otoriter akan membuahkan pula
bibit–bibit anak didik yang otoriter. Seperti guru yang otoriter, akan
menghasilkan anak-anak didik yang otoriter pula, bahkan nakal. Guru yang
otoriter di kelas, diantara sifat-sifatnya adalah maunya menang sendiri,
kata-katanya tajam, dan suka mempermalukan. Kelakuan ini sebenarnya akan jadi
bumerang bagi guru itu sendiri, seperti tidak disukai pelajarannya, tidak
disenangi perangainya, dan tentu saja ini suatu hal yang kontra produktif.
Apalagi perilaku-perilaku seperti ini sangat bertentangan dengan sikap-sikap
yang dituntunkan Rasulullah SAW yang ternyata memiliki pribadi yang sangat
indah, santun, dan berakhlak mulia.
Bagi orang
yang bagus perangainya, berwajah ceria, serta mulia akhlaknya maka ia laksana
mawar yang kuncup di musim semi, dia akan beroleh banyak teman yang membawa
kedamaian dan ketentraman, semua pintu terbuka baginya. Sementara orang
pemberang, mudah marah, egois, dan otoriter harus menggedor pintu untuk bisa
sekedar berbincang dengan seorang kawan. Karenanya, yang terbaik adalah
keramahan akhlak dan keceriaan. Rasulullah SAW sendiri adalah seorang yang
senantiasa berwajah cerah ceria penuh sungging senyuman, insya ALLOH.
***